Friday 2 January 2015

SAJAK NONA DAN SEBUAH CANGKIR KOSONG


Oleh: Fauzi Roemli dan Putri Handayani

Semalam, aku mencoba memanifestasikan
rasa, pada dua baris kalimat yang
kudapati dari binar mata seorang hawa:
Jika kau merasakan desir itu, mungkin

saja itu 'dia'.
Jika kau mendengar degup itu, bisa jadi
itu 'dia'.
*
Kemudian, seorang Nona yang terduduk
anggun di sampingku melayangkan
sederet tanya:
Bagaimana jika nyatanya desir itu bukan
dia?
Ketika fakta dan suara alam
menjawabnya
Ketika rembulan bersinar dengan
terangnya
Akankah kau melupakan-Nya
Masihkah kau meragukan-Nya
Ah, apakah engkau lupa?
Hidupmu bukan sebatas dia
Sembilu penggores luka
Meski memang, secercah bahagia kadang
tercipta
*
Aku tercenung sejenak, merenung untuk
beberapa saat. Memutar-mutar memori
tanda mencari-cari. Membuka lembar
demi lembar petala hati. Dan pada lembar
keduabelas, pencarianku terhenti. T'lah
kutemukan jawab untukmu wahai Nona
Jelita yang sedari tadi setia menanti.
Inilah jawabku:
Engkau benar, Nona
Apalah aku?
Aku hanyalah seorang hamba,
yang masih terbata-bata mengeja makna
; Cinta ....
Melupakan-Nya?
Meragukan-Nya?
Tak ada daya
Aku laksana sepercik buih di padang
samudra
Terseok-seok mengekor ke mana Sang
Ombak menepikan dirinya
Terombang-ambing dihempas amukan
badai La Nina
Terhuyung-huyung menyadari betapa
lemahnya ia
Itulah sebabnya, Nona
Kusertakan kata "mungkin" dan "bisa
jadi" pada setiap prasangka
Itu semata bukti ketidakberdayaanku di
hadap-Nya
"Sebatas berharap dan menyiapkan
sebuah cangkir kosong untuk
menerima ...."
Itu saja
Engkau pun tahu, Nona
Samudra hidup yang fana, segenap isi
semesta raya
Bersujud, menunduk takzim di bawah
kuasa-Nya
Kuasa-Nya yang tak terhingga
Nona ....
Kuasa-Nya adalah segala
Segala adalah kuasa-Nya
"Aku laksana sepercik buih di padang
samudra, yang terseok-seok mengekor ke
mana Sang Ombak menepikan dirinya ...."
*
Mendengar jawaban itu, Nona di
sampingku mengulum senyum, sepucuk
bulan sabit terbit dari bibirnya yang
ranum. Sepertinya ia sepakat dengan
sepotong sajak yang baru saja
kusampaikan.
"Terima kasih atas jawabanmu yang
begitu mendamaikan," ucapnya sambil
menyentuhku dengan lembut.
"Hari sudah larut, orkestra malam
sebentar lagi akan menutup tirainya,"
pungkasnya sembari melangkahkan kaki
pergi, meninggalkanku sendiri di atas
sebuah meja, di suatu beranda, tempat
biasa ia menghanyutkan segala rasa.

No comments:

Post a Comment